F

Feodalisme ”Jawa”: Bahasa Sebagai Legitimimasi Kekuasaan Pada Masa Orde Baru

Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan loyalitas. Feodalisme Jawa yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan diwariskan secara turun temurun. Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan penguasa didasarkan atas jumlah pengikut dan diikat oleh konsep bersatunya kawula dan gusti, atau bawahan dan atasan.
Legitimasi dengan bahasa terlihat jelas pada masa Orde Baru berkuasa. Orde Baru yang berkuasa tidak dapat dipisahkan dengan kepemimpinan Soeharto. Soeharto yang berasal dari keluarga Jawa tahu betul membangun sebuah legitimasi kekuasaan dengan bahasa dan pola-pola feodalisme Jawa.
Salah satu bentuk legitimasi kekuasaan pada masda Orde baru adalah legitimasi mengenai bahasa.Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial sehari-hari. Bahasa juga sebagai sebuah doktrin atau dogma kekuasaan. Legitimasi kekuasaan juga dapat dilihat dari bahasa yang digunakan pada masyarakat.
Legitimasi kekuasaan dengan bahasa terlihat jelas pada masyarakat Jawa. Dalam bahas Jawa terdapat klarifikasi bahasa yang ditinjau dari kriteria tingkatannya yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Bahasa Jawa Ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya Sebaliknya, bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk bicara dengan yang belum kenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun status, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta statu sosialnya.
Adanya klarifikasi bahasa itu akan menimbulkan sebuah sebuah strata sosial kebangsawanan dan kedudukan sebagai priyayi. Maka bahasa yang digunakan antara pangeran bila ia berbicara dengan orang biasa berbeda dengan orang biasa berbicara dengan pangeran. Pada masa Orde Baru etika memanggil Soeharto, orang awam banyak yang menyebut “Pak Harto”. Pemakaian kata “Pak Harto” mempunyai makna ganda. Pertama, menghapus ingatan kolektif masyarakat terhadap penggunaan kata “Bung” yang dipakai oleh Soekarno dan angkatannya. Kedua bertujuan menghilangkan konsep kesetaraan. Kata “Pak” adalah sapaan merendahkan diri di hadapan sang “Pak”. Itu berarti, ada jarak yang harus ditanggung saat berbicara dengan sang “Pak”.
Dalam lingkungan kerja orang Jawa tidak mengenal bantahan dan, hanya persetujuan. Ketika dalam pengambilan keputusan bisa dilihat bahwa kata ”ya” bisa berarti tidak dan “tidak” bisa berarti ragu-ragu atau berarti “ya”. Tak ada kepastian, memang dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat Jawa. Kepastian ini baru bisa didapatkan bila setelah pengambilan keputusan berlangsung beberapa waktu lamanya. Dilaksanakannya perintah berarti bahwa jawaban yang diberikan ialah “ya”, dan tak dilaksanakannya perintah itu sendiri berarti bahwa jawabannya yang diberikan ialah “tidak”. Jadi seorang bawahan akan selalu membuat atasannya selalu senang.
Dalam birokrasi pemerintahan Orde Baru tetap menggunakan konsep ”desa Jawa”. Soeharto juga mulai memakai istilah desa dalam menyeragamkan terhadapkeberbedaan yang ada. Desa-lah yang kemudian yang mematikan istilah nagari danbanjar. Dilihat secara administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh seorang lurah. Lurah dibantu oleh carik, jagabaya, jagatirto, bayan,dan modin. Kemudian, desa itu masih dibagi atas dusun-dusun yang dikepalai oleh kepala dusun. Tidak cukup sampai disini, setelah dusun dibagi lagi atas Rukun warga. Dan Rukun Warga ini terdiri atas Rukun Tetangga.
Struktur masyarakat desa di Jawa yang asli, telah dirusak oleh struktur administrasif yang ditumpangkankan oleh pemerintah kolonial sejak lama. Akibat dari itu masyarakat desa di Jawa tidak memiliki kesatuan-kesatuan sosial dan organisasi yang mantap, yang dapat berbuat kreatif sendiri. Organisasi yang ditumpangi oleh sistem administrasi kepegawaiaan dan dipimpin oleh seorang pegawai, yang sering tak suka memikul tanggung jawab sendiri, dan hanya bisa menunggu perintah dari atas.
Kekuasaan didominasi oleh pusat, apapun kebijakan ekonominya, rasa kejawanlah yang menjadi pegangan desa-desa di Jawa. Inikah yang dimanfaatkan oleh Orde baru, termasuk dalam melanggengkan konsep politiknya.
Aspek yang menyebabkan bertahannya kebudayaan Jawa adalah feodalisme yang terinstitusional dari generasi ke generasi. Bagi orang desa, feodalisme bukanlah sesuatu yang harus dilihat dengan kacamata benar dan salah, melainkan sesuatu yang telah ajeg, harus dilaksanakan, dikerjakan tanpa presentasi. Hidup tinggal menerima, semua sudah ada yang mengatur. Dengan sistem birokrasi yang dibangun dari bawah sampai atas yang begitu ruwet, menyebabkan kontrol kekuasaan akan mudah. Dengan sistem itu identitas budaya lokal semakin terkikis dan mengakibatkan lahirnya generasi local yang memiliki rasa rendah diri dengan identitas kultural lokalnya.
Dalam pengunaan bahasa pada masa Orde Baru pasti kenal dengan istilah “pembangunan”, “selaras, serasi, seimbang”, bahkan “semangkin”, “daripada”, dan “ken”. Pemakaian yang dilakukan terus menerus akan meninggalkan maknanya, dan, tentu saja, mendekatkan dengan penutur pertamanya.
Dengan kata-kata itu diharapkan Soeharto dapat dekat dengan rakyatnya. Soeharto mampu menyatu dalam kalbu setiap warganya.Soeharto terinspirasi oleh konsep pewayangan . Ia mengidentifikasikan dirinya sebagi seorang tokoh semar. Dalam dunia pewayangan Semar merupakan lambang rakyat. Pengunaan kata-kata itu juga tak lepas dari unggah-ungguh. Hal ini perlukan agar masyarakat tidak sampai menggerutu Menggerutu inilah yang sering dilakukan oleh orang Jawa, mereka sering melakukannya karena tidak punya keberanian untuk berpendapat.
Kata-kata yang selalu diulang-ulang itu mengingatkan pada ajaran Jawa yang berbunyi: yen mlaku ojo sok ndangak mundhak kesandhung; mulo luwih becik tumungkulo!. Artinya: bila jalan jangan suka melihat ke atas oleh karena bisa kesandung; maka itu lebih baik melihatlah ke bawah. Maksudnya supaya di dalam kehidupan orang jangan suka melihat ke atas, ke arah mereka yang kaya dan berharta. Lebih baik memandang ke bawah, ke arah mereka yang kurang berada, daripada kita. Dalam kenyataannya lebih baik memandangi orang yang bernasib kurang baik untuk bisa membuat diri sendiri merasa beruntung daripada merasa, mengirikan mereka yang bernasib lebih baik oleh karena, sikap ini bisa perasaan malang pada diri sendiri.
Sifat chauvinisme Jawa dalam pemerintahan terlihat nyata dan terbuka. Ironi ini jelas sekali dalam peta politik Indonesia pada masa Orde Baru. Menteri, pimpinan instansi, kepala angkatan, kebanyakan bersal dari orang Jawa, yang namanya dengan jelas berakhiran “o”. Tentu, ini bukan semata karena etnis Jawa adalah kelompok masyarakat terbesar di Indonesia, melainkan lebih kepada kepercayaan kolusif yang dimiliki Soeharto kepada orang-orang yang dianggap memiliki kedekatan emosional dengannya.
Negara dan birokrasi adalah lembaga yang sama sekali rasional. Tapi, Orde Baru menunjukkan sebaliknya. Sistem Orde Baru adalah hasil sinkretis antara cara berpikir ilmiah dengan cara berpikir mistis. Mentaliet yang terlalu nerima dan bersikap pasif dalam hidup, menjadikan penguasa lebih berkuasa. Tipikal Jawa yang tampaknya hingga saat ini belum hilang daya tariknya, sekalipun orang berusaha untuk berpikir logis di dalam kehidupan tradisional yang sedang mengarah untuk menjadi modern. Sehingga pada masa kekuasaan Orde Baru pola yang dipakai adalah pola berpikir ”Jawa” dapat diartikan sebagai pola berpikir Indonesia dalam karakteristik manusia Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar